Jumat, 04 Februari 2011

Kesadaran mencintai Lingkungan*

Oleh: Muhyidin el-febiens

Di hari idul adha ini kita bisa meningkatkan hubungan kita kepada Allah dengan pembuktian rasa Syukur atas semua nikmatnya kepada kita. Kita sebagai hamba memiliki tugas utama, yaitu mengabdi dan menyembah kepada Allah dan kita juga harus mengikhlaskan semua ibadah dan amalnya hanya untuk Allah. Kita juga sebagai khalifah mempunyai suatu kewajiban yang mungkin sering terlupakan, yaitu menjaga dan memakmurkan bumi bukan malah merusaknya.

Jadi, kita tidak hanya harus tinggi dalam menjalin hubungan dengan Allah, tapi kita juga harus menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia dan Alam kita (Hablum minal Alam). Dengan mencintai lingkungan, maka kita akan dicintai Tuhan. Jika berbicara tentang mencintai lingkungan tentunya menyangkut juga watak dan cara berpikir. Sebab tindakan muncul dari pikiran, kepedulian muncul dari kesadaran, dan sadar itu muncul karena berpikir.
Di zaman Globalisasi ini, mungkin kita sedang krisis dalam berhubungan dengan alam. kita selalu dihantui dengan berbagai bencana alam. Bencana tsunami, banjir, gempa Bumi dan tidak lupa pula gunung-gunung yang akhir-akhir ini selalu memuntahkan laharnya. Bencana alam ini pada dasarnya bisa dikelompokkan menjadi dua. Pertama, bencana yang bisa kita cegah agar tidak terjadi. Misalnya: Banjir, akibat sungai yang penuh sampah. Kedua, bencana alam yang tidak bisa kita cegah. Misalnya: Gunung meletus.

Bencana Banjir yang terjadi baru-baru ini di Desa kita mungkin sudah jelas bahwa kita harus lebih mencintai lingkungan. Seperti misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan ke sungai. membuang sampah di sungai mungkin sudah menjadi kebiasaan. Dengan peringatan model apapun sepertinya sudah tidak digubris lagi oleh orang-orang yang memiliki kebiasaan buruk tersebut. Selain menimbulkan pencemaran, membuang sampah di sungai juga bisa menimbulkan bencana banjir karena sampah bisa menyumbat saluran air ataupun membuat sungai menjadi dangkal. Kira-kira peringatan seperti apa yang bisa dipatuhi oleh orang-orang yang memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai?

Sebenarnya Bukan hanya itu saja yan perlu kita waspadai. Masalah Abrasi Pantaiyang telah meluluh lantahkan sawah-sawah Masyarakat juga menjadi masalah yang tak pernah terselesaikan dengan maksimal. Bayangkan saja, jika masalah ini belum ditangani, maka sepuluh tahun yang akan datang diperkirakan akan menghanguskan semua Sawah masyarakat kita. Lalu akan makan apakah generasi kita nanti? Renungkanlah….!!!

Memang, manusia sebagai khalifah diberi wewenang dan hak untuk memanfaatkan alam bagi kebutuhan hidupnya. Namun, pemanfaatan ini tidak boleh berlebih-lebihan apalagi merusak ekosistem (sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antar makhluk hidup dan lingkungannya). Pengelolaan alam ini harus didasarkan pada rasa tanggug jawab: tanggung jawab kepada kemanusiaan, karena rusaknya alam akan berakibat bencana dan malapetaka bagi kehidupan kita semua. Dalam hal ini, sudah jelas kiranya untuk tidak melakukan penebangan liar di hutan maupun di gunung-gunung sekitar kita.

Maka bagi kita semua yang peduli akan lingkungan, lakukanlah yang terbaik untuk lingkungan, dan serukanlah kepada orang lain agar mereka mempedulikan nasib lingkungan. Atau mulailah dari kita sendiri (Ibtida’ Bin Nafsi), biasakan tidak membuang sampah sembarangan, kurangi pemakaian bahan plastik dan sejenisnya karena sampah plastik merupakan bahan yang tidak mudah rusak, kurangi pemakaian energi/ listrik berlebihan, maka anda sudah peduli lingkngan.

Jadilah orang yang mencintai lingkungan demi masa depan generasi/ keluarga kita (anak cucu).


*Tulisan ini mpernah dimuat di buletin INSPIRASI IMSADA edisi III

HABLUMMINALLAH-HABLUMMINANNAS: SOLIDARITAS SOSIAL*


Hablumminallah dan Hablumminannas adalah satu paket kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Maka mengimani Allah tidak lepas dari "memegang" kebersamaan manusia (Umat Islam). Hablumminallah adalah ibarat tali yang fungsinya adalah untuk mengikat & menarik. Tali yang dimaksud  ini adalah tali yang ujungnya dari Allah, Secara umum dan ringkas itulah keimanan, yang mana faktor itulah yang mengikat & menarik kita. Sedangkan Hablumminannas (Tali dari para manusia) Singkatnya adalah  wujud atau bentuk konkrit dari iman yang terbungkus dalam bentuk "ikatan sesama manusia" yang memegang keimanan.

Sebelum Fajar menyingsing, takbir bergema di luasnya cakrawala, menyebut nama sang pencipta saling bersahut-sahutan. Perlahan-lahan sang surya mulai menampakkan sinarnya menunggu detik-detik persembahan seorang hamba untuk khalik-Nya. Ketika semua proses persembahan sudah selesai, terbersit perasaan lega dihati bahwa kita sudah mampu berkurban atas nama sang khalik bukan atas nama yang lain.Untuk menjadi muslim sejati  kita harus bisa membangun rasa persaudaraan sesama muslim. Nah, salah satu manifestasi (bentuk nyata) dari sikap persaudaraan kita itu adalah dengan berkurban. Dalam hadits yang lain Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa mengumpulkan harta dengan cara tidak benar (haram), Allah akan memusnahkannya dengan banjir dan tanah longsor (HR Al Baihaqi).
Oleh karena itu, jika rasa saling bantu sesame manusia itu tidak dimulai dari berbagi harta daging seperti itu, maka masalah ekonomi yang dihadapi saudara kita akan dapat memicunya untuk menempuh cara-cara haram dalam mendapatkan materi. Dan bila hal ini dibiarkan, maka banjir dan tanah longsor dapat menimpa diri kita semua. Sikap tak peduli dengan penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan saudara kita akan menimbulkan bencana bagi kita semua. Sikap egois, mau menang sendiri, sombong, cuek dan tamak adalah sikap yang menunjukkan ketidak pedulian seseorang.
Sesungguhnya hari raya idul adha merupakan hari raya yang mempunyai hikmah yang sangat besar. Salah satunya adalah sebagai wahana solidaritas sosial. Mengapa demikian, karena dengan berkurban kita diajarkan untuk dapat melatih kepekaan sosial dan berbagi dengan saudara-saudara kita yang belum beruntung dalam hal kesejahteraan. Sehingga dengan berkurban dapat menjadi penunjuk arah kita untuk menjaga rasa kepedulian sosial kita. Berkurban pada saat sekarang ini bak Pelita didalam kegelapan, dimana dengan situasi ekonomi yang sedang terpuruk daging kurban menjadikan Sinar Harapan dan suatu berkah yang besar bagi saudara-saudara kita yang hanya bisa menikmati rasanya daging hanya pada hari raya idul adha.
Jadi dengan berkurban dapat menjadikan kita sebagai orang yang peka dalam menyikapi kesetiakawanan sosial juga menjadi orang yang selalu waspada akan terjadinya penurunan kesetiakawanan sosial pada diri kita. Semoga hari raya idul adha kali ini bisa membawa manfaat yang lebih besar tidak hanya untuk yang berkurban tetapi juga bagi yang menerima daging kurban. (Redaksi)

*Sajian Utama pada Edisi III

Bulan Ramadhan adalah Bulan Pendidikan*


Rasulullah S.A.W bersabda : " Seandainya umatku mengetahui apa yang terdapat di bulan ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar semua tahun itu menjadi bulan ramadhan. Karena sesungguhnya semua kebaikan berkumpul di bulan ramadhan. Ketaatan di terima oleh Allah, semua do'a di kabulkan, semua dosa di ampuni, dan syurga rindu kepada mereka."


Disebut Bulan Pendidikan karena pada bulan ini kaum beriman melakukan pendidikan terhadap seluruh dimensi kehidupannya, mulai dari nafsu, hati, fisik, ibadah, keluarga, masyarakat, ilmu, dan lain-lain. Di samping itu juga karena Al-Qur’an diturunkan di bulan ini, dan ayat yang pertama adalah iqra, yang menyuruh kita banyak membaca dan belajar.
Bulan yang penuh dengan Cinta ini lah sebenarnya bulan yang sangat nikmat jika kita memahaminya dengan benar. Karena semua kemurahan Allah akan diberikan pada Bulan ini. Bulan Ramadhan adalah ajang untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya.
Bulan Ramadhan juga mengandung pendidikan kepada kita agar menjadi lebih baik. Diantaranya adalah mendidik kita untuk introspeksi diri dan bertanggung jawab, mendidik kita agar memiliki jiwa sosial yang tinggi, mendidik kita untuk selalu berdisiplin, mendidik dan mengajak kita kepada kejujuran dan mendidik kita untuk saling tolong-menolong.
Puasa di bulan Ramadhan bisa diibaratkan sekolah khusus yang ajaran barunya selalu dibuka setiap tahun dengan tujuan pendidikan praktis dalam menyerap nilai-nilai yang paling tinggi. Barangsiapa memasukinya untuk mendapatkan karunia Ilahi, kemudian ia berpuasa sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, lalu ia dapat melakukan ibadah tambahan sesuai yang telah disyari’atkan, maka ia akan lulus dengan menyandang gelar muttaqin (Orang yang Bertaqwa). Dengan gelar muttaqin orang akan mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT dan terbebas dari api neraka.
Setelah sebulan penuh dididik Ramadhan, ilmu pun didapat, maka langkah selanjutnya adalah mengamalkannya di sebelas bulan berikutnya. Islam menginginkan orang yang berilmu mengamalkan ilmunya demi kebaikan diri dan orang lain. Ilmu pada seseorang ibarat sebatang pohon dan amal sebagai buahnya. Perintah belajar dan menuntut ilmu bertujuan meningkatkan kuantitas dan kualitas amal muslim. Dengan amal itu pula, muslim memperoleh kebahagiaan di dunia dan selamat di akhirat.
Karenanya, hakikat dari belajar atau menuntut ilmu adalah perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan setelah mengetahui kemudian mengamalkannya. Sedangkan manusia yang tidak mampu lagi berubah (setelah belajar/menuntut ilmu) sejatinya ia telah mati. Oleh karena itu, jadilah manusia pembelajar, karena dengan belajar berarti akan ada perubahan, perubahan adalah keniscayaan, karena orang yang cerdas (sang pembelajar) adalah orang yang jeli untuk mengetahui dan mengakui kelemahan dirinya. Dari kesadaran tersebut, ia perbaiki dirinya agar selanjutnya ia dapat melakukan yang terbaik dalam hidup ini.
Sungguh, puasa mampu membentuk manusia baru, Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan Ramadhan sebagaimana bayi baru lahir. Wallahu a’lam.
(Redaksi)

*Sajian Utama pada buletin INSPIRASI edisi II

PENTINGNYA PENDIDIKAN*


Oleh: Kaum Happak Jee

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Dari tahun ketahun, permasalahan pendidikan tidak pernah terlesaikan. Sering kali permasalahan pendidikan dinomorduakan oleh Pemerintah maupun elemen Masyarakat. padahal, pendidikan adalah permasalahan inti yang harus kita utamakan untuk menjadikan masyarakat mempunyai SDM tinggi, sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Masyrakat secara kesuluran harus sadar betapa pentingnya pendidikan itu.
Problem pendidikan yang semakin ruwet, tidak hanya disebabkan para pakar pendidikan, berbagai elemen juga ikut serta, baik pemerintah maupun dari masyarakat. sehingga tidak heran jika permasalahan itu tidak pernah menemukan jalan keluarnya. Semestinya, permasalahan inilah yang diutamakan oleh kita semua. para Orang Tua sadar Bahwa pendidikan itu sangat penting demi masa depan anaknya. Dan jika Masyarakatnya Alasan tidak mampu maka pemerintah atau aparat Desa  harus mempunyai Solusi agar semua Rakyat dan Masyarakatnya bisa sekolah. Mari konsepkan bersama, kegiatan seperti apakah yang nantinya bisa menyekolahkan keluarga yang belum mampu menyekolahkan anaknya  tersebut. Misalnya dengan mendirikan BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq Shadaqah) Desa atau dengan mengalang dana dari para pengusaha atau orang yang telah sukses lainnya. inilah sebenarnya yang harus kita lakukan, Karena kita juga harus mementingkan generasi-generasi kita yang akan datang.
Oleh karena itu, mulai saat ini marilah kita utamakan pendidikan dan memperhatikan masa depan generasi-generasi kita yang akan datang. Jika tidak seperti itu, maka kita sebagai Muslim tidak akan maju-maju dan kehidupan pun akan semakin buram bagi masyararakat. Bagaimanapun caranya hal ini merupakan tanggung jawab orang tua dan pemerintah untuk  bisa menyekolahkan anak-anak yang kurang mampu. Dan jika desa kita tak maju-maju maka Negara kita pun tak kan pernah maju. Perubahan tidak akan pernah tercapai jika kita tak sanggup untuk merubah diri kita sendiri. Ibtida’ Bin Nafsi. Salam Happak Jee !!!

*Tulisan ini pernah dimuat di rubrik SAMBHEL buletin INSPIRASI IMSADA edisi II

PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN BUDI PEKERTI *

Ditulis Oleh: Salah satu Penggagas IMSADA

Pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswi. Pendidikan non formal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranformasi budaya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita.

Tidak ada anak yang rusak karena dirinya sendiri, melainkan karena faktor lain di luar dirinya yaitu Orang Tua atau lingkungan. Tentang kerusakan moral, saya sungguh sedih mendengarkannya, dalam hal ini pengaruh orang Tua itu sangat penting terhadap masa depan moral seorang anak. Tapi, bagaimanapun juga, orang tua tidak pernah membiarkan anaknya untuk masuk ke jurang yang nista. Walaupun terkadang cara mereka mendidik kurang tepat.

Untuk menghadapi permasalahan ini salah satu yang bisa diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai, karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi (madrasatul ula) untuk memperoleh dasar- dasar budi pekerti yang baik. Proses pendidikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.

Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana keluarga berperan dalam memberikan pendidikan budi pekerti pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga di negara kita sangat bervariasi.
Karena kompleknya permasalah keluarga di masyarakat, pendidikan yang diberikan pun tidak dapat disamaratakan. Peran masing-masing keluarga dalam pendidikan budi pekerti pun tidak dapat disamakan satu keluarga dengan keluaga lain. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang rasanya harus ada jika keluarga ingin berperan dalam pendidikan budi pekerti.

Pertama, komitmen keluarga untuk memperhatikan anak- anaknya. Terlepas dari apakah suatu keluarga merupakan keluarga harmonis, bermasalah, ataupun keluarga gagal , komitmen untuk memperhatikan anak-anaknya menjadi kunci pendidikan budi pekerti bagi keluarga. Walaupun suatu keluarga merupakan keluarga yang tampaknya sangat harmonis tetapi jika kedua orang tuanya tidak memilki komitmen untuk memperhatikan anak-anaknya maka anak- anaknya akan kekeringan perhatian dan pengarahan. Akibatnya bisa jadi anak akan mudah mendapat pengaruh negatif dari lingkungan pergaulannya yang pada akhirnya mengalami kemerosotan moral dan budi pekerti. Sebaliknya walaupun keluarga bermasalah, jika mereka punya komitmen besar untuk memperhatikan anak-anaknya, niscaya anak- anaknya akan berkembang sangat baik dan memiliki budi pekerti luhur.

Kedua, keteladanan. Proses pendidikan dalam keluarga mengandalkan pada masalah keteladanan orang tua. Hal ini berbeda dengan pola pendidikan sekolah yang lebih menekankan pada pola indoktrinasi dan peluasan wawasan. Jika dalam keluarga diberlakukan pola indoktrinasi dan peraturan, maka keluarga justru akan menjadi tidak harmonis. Bahkan bisa jadi anak justru akan menjadi agresif dan antipati terhadap keluarga. Akibatnya anak justru lebih kerasan tinggal di luar rumah daripada berada di rumahnya sendiri. Jika demikian artinya pendidikan budi pekerti dalam keluarga kurang berhasil.

Ketiga, komunikasi aktif. Kasus-kasus renggangnya hubungan antara anak dan orang tua lebih banyak disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara anak-orang tua. Karena kesibukan masing-masing, anggota keluarga jarang bertemu. Akibatnya walaupun mereka berada dalam satu rumah tetapi jarang sekali terjadi komunikasi langsung. Jika ketiga prasarat pendidikan budi pekerti dalam keluarga di atas dapat terpenuhi, maka dapat diyakini bahwa keluarga mampu berperan dalam pendidikan budi pekerti.
Sebagai penutup dari tulisan ini bisa simpulkan bahwa tinggi rendahnya budi pekerti seseorang tidak dapat diukur hanya dari angka-angka seperti NEM hasil EBTANAS. Budi pekerti hanya bisa diukur dengan mengamati perilaku dan perubahan perilaku seseorang. Pendidikan budi pekerti juga bukan pendidikan instant yang segera dapat diketahui hasilnya. Mungkin saja nilai-nilai budi pekerti yang ditawarkan saat ini baru terlihat hasilnya sepuluh tahun kemudian.

Satu hal yang menjadi kunci masalah pendidikan budi pekerti adalah bahwa kita harus sepakat bahwa moralitas SDM bangsa kita perlu segera dibenahi bagaimanapun caranya. Jika perlu, kita harus menanamkan ke dalam diri para pendidik dan orang tua bahwa kunci utama untuk mengatasi krisis berkepanjangan ini adalah dengan menaruh perhatian besar pada pendidikan budi pekerti lewat segala bidang.


Pustaka
Ambroise, Yvon. 1999. “Pendidikan Nilai” dalam Pendidikan Nonformal sebagai Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta : LPPS-KWI.
Gordon, Thomas. 2008. Menjadi Orangtua Efektif. Jakarta :
Gramedia


*Tulisan ini pernah dimuat di buletin INSPIRASI IMSADA edisi II