Jumat, 04 Februari 2011

PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN BUDI PEKERTI *

Ditulis Oleh: Salah satu Penggagas IMSADA

Pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswi. Pendidikan non formal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranformasi budaya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita.

Tidak ada anak yang rusak karena dirinya sendiri, melainkan karena faktor lain di luar dirinya yaitu Orang Tua atau lingkungan. Tentang kerusakan moral, saya sungguh sedih mendengarkannya, dalam hal ini pengaruh orang Tua itu sangat penting terhadap masa depan moral seorang anak. Tapi, bagaimanapun juga, orang tua tidak pernah membiarkan anaknya untuk masuk ke jurang yang nista. Walaupun terkadang cara mereka mendidik kurang tepat.

Untuk menghadapi permasalahan ini salah satu yang bisa diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai, karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi (madrasatul ula) untuk memperoleh dasar- dasar budi pekerti yang baik. Proses pendidikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.

Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana keluarga berperan dalam memberikan pendidikan budi pekerti pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga di negara kita sangat bervariasi.
Karena kompleknya permasalah keluarga di masyarakat, pendidikan yang diberikan pun tidak dapat disamaratakan. Peran masing-masing keluarga dalam pendidikan budi pekerti pun tidak dapat disamakan satu keluarga dengan keluaga lain. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang rasanya harus ada jika keluarga ingin berperan dalam pendidikan budi pekerti.

Pertama, komitmen keluarga untuk memperhatikan anak- anaknya. Terlepas dari apakah suatu keluarga merupakan keluarga harmonis, bermasalah, ataupun keluarga gagal , komitmen untuk memperhatikan anak-anaknya menjadi kunci pendidikan budi pekerti bagi keluarga. Walaupun suatu keluarga merupakan keluarga yang tampaknya sangat harmonis tetapi jika kedua orang tuanya tidak memilki komitmen untuk memperhatikan anak-anaknya maka anak- anaknya akan kekeringan perhatian dan pengarahan. Akibatnya bisa jadi anak akan mudah mendapat pengaruh negatif dari lingkungan pergaulannya yang pada akhirnya mengalami kemerosotan moral dan budi pekerti. Sebaliknya walaupun keluarga bermasalah, jika mereka punya komitmen besar untuk memperhatikan anak-anaknya, niscaya anak- anaknya akan berkembang sangat baik dan memiliki budi pekerti luhur.

Kedua, keteladanan. Proses pendidikan dalam keluarga mengandalkan pada masalah keteladanan orang tua. Hal ini berbeda dengan pola pendidikan sekolah yang lebih menekankan pada pola indoktrinasi dan peluasan wawasan. Jika dalam keluarga diberlakukan pola indoktrinasi dan peraturan, maka keluarga justru akan menjadi tidak harmonis. Bahkan bisa jadi anak justru akan menjadi agresif dan antipati terhadap keluarga. Akibatnya anak justru lebih kerasan tinggal di luar rumah daripada berada di rumahnya sendiri. Jika demikian artinya pendidikan budi pekerti dalam keluarga kurang berhasil.

Ketiga, komunikasi aktif. Kasus-kasus renggangnya hubungan antara anak dan orang tua lebih banyak disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara anak-orang tua. Karena kesibukan masing-masing, anggota keluarga jarang bertemu. Akibatnya walaupun mereka berada dalam satu rumah tetapi jarang sekali terjadi komunikasi langsung. Jika ketiga prasarat pendidikan budi pekerti dalam keluarga di atas dapat terpenuhi, maka dapat diyakini bahwa keluarga mampu berperan dalam pendidikan budi pekerti.
Sebagai penutup dari tulisan ini bisa simpulkan bahwa tinggi rendahnya budi pekerti seseorang tidak dapat diukur hanya dari angka-angka seperti NEM hasil EBTANAS. Budi pekerti hanya bisa diukur dengan mengamati perilaku dan perubahan perilaku seseorang. Pendidikan budi pekerti juga bukan pendidikan instant yang segera dapat diketahui hasilnya. Mungkin saja nilai-nilai budi pekerti yang ditawarkan saat ini baru terlihat hasilnya sepuluh tahun kemudian.

Satu hal yang menjadi kunci masalah pendidikan budi pekerti adalah bahwa kita harus sepakat bahwa moralitas SDM bangsa kita perlu segera dibenahi bagaimanapun caranya. Jika perlu, kita harus menanamkan ke dalam diri para pendidik dan orang tua bahwa kunci utama untuk mengatasi krisis berkepanjangan ini adalah dengan menaruh perhatian besar pada pendidikan budi pekerti lewat segala bidang.


Pustaka
Ambroise, Yvon. 1999. “Pendidikan Nilai” dalam Pendidikan Nonformal sebagai Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta : LPPS-KWI.
Gordon, Thomas. 2008. Menjadi Orangtua Efektif. Jakarta :
Gramedia


*Tulisan ini pernah dimuat di buletin INSPIRASI IMSADA edisi II

Tidak ada komentar:

Posting Komentar