Rabu, 06 Januari 2010

MERUBAH PARADIGMA MASYARAKAT TENTANG SAMPAH

Perilaku Masyarakat: Buang Sampah Sembarangan

Masalah sampah tidak hanya sekedar hanya bagaimana mengolah atau mengelola sampah saja, tetai juga terkait dengan masalah budaya/sosiologi masyarakat. Masyarakat Indonesia umumnya tidak peduli tentang sampah, suka buang sampah sembarangan, dan cenderung mementingkan diri sendiri. Paradigma yang salah ini mungkin merupakan salah satu penyebab kenapa banyak program tentang sampah yang tidak berhasil. Merubah paradigma masyarakat tentang sampah menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari upaya-upaya penanganan sampah secara terpadu.

Contoh sederhana saja. Di sebuah lahan terdapat patok dengan pengumuman yang sangat mencolok: DILARANG BUANG SAMPAH DI SINI. Pada kenyataannya masih banyak orang yang membuang sampah di tempat itu. Atau larangan-larangan senada lainnya, seperti: DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI SUNGAI, BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA, YANG BUANG SAMPAH DI SINI SETAN. Pengumuman-pengumuman itu seperti hanya sebuah tempelan kosong tanpa arti, seperti macam tak punya gigi, tidak ada orang yang memperhatikan atau mematuhi larangan tersebut.

Contoh lain. Pemerintah atau lembaga-lembaga lain sudah cukup lama menyediakan tiga tempat sampah yang berbeda. Satu tempat sampah untuk limbah plastik atau logam, satu tempat sampah untuk limbah kertas, dan satu lagi tempat sampah untuk limbah organik. Tulisannya dibuat besar sekali, warnanya menyolok, dan masih terbaca dengan jelas dari jarak yang cukup jauh. Warnanya pun dibuat berbeda-beda. Masalahnya sekarang, apakah warga atau masyarakat sudah membuat sampah sesuai dengan tempatnya. Jawabannya adalah tidak. Mereka membuang sampah semaunya sendiri tampa memperhatikan tulisan-tulisan tersebut.

Pemerintah juga sudah mencoba membuat perda tentang sampah yang akan menghukum orang yang membuang sampah sembarangan. Salah satunya denda Rp. 50 rb untuk orang yang ketahuan membuang sampah sembarangan. Apakah perda ini pernah diberlakukan? Sudahkan ada orang yang didenda karena membuang sampah sembarangan? Jawabannya kita sudah tahu semuanya. Perda ini cuma sekedar tulisan di atas kertas.
Mencari Akar Permasalahan

Mengapa larangan-larangan, perda-perda, atau segala macam himbauan seperti tidak pernah dihiraukan oleh masyarakat? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Mencari jawaban yang benar dari pertanyaan itu sama pentingnya dengan masalah sampah itu sendiri. Dengan mengetahui jawaban yang benar dan tepat, maka akan lebih mudah bagi kita untuk merumuskan sebuah rencana tentang pengelolaan sampah.

Mungkin perlu dilaksanakan sebuah survei yang mendalam, sistematis, dan komprehensif tentang perilaku masyarakat berkaitan dengan sampah. Ini bukan pekerjaan sederhana. Saya sendiri belum pernah membaca tentang hasil penelitian tentang perilaku masyarakat tentang sampah ini. Saya berharap suatu saat ada yang terketuk hatinya untuk mencari akar permasalahan tentang sampah ini.

Mendapatkan permasalahan yang benar (sekali lagi benar tidak sama dengan betul, karena kebenaran tidak sama dengan kebetulan) adalah langkah awal sebelum melangkah ke tahapan berikutnya. Kalau sudah mendapatkan masalah yang benar, separo kerjaan sudah di tangan. Seringkali jawabannya juga menjadi lebih jelas terlihat. Solusinya lebih mudah diformulasikan.

Keuntungan yang lain adalah kita bisa menghemat waktu, biaya, tenaga jika masalahnya sudah jelas. Adalah kerugian besar jika kita sudah mengeluarkan waktu, biaya dan tenaga yang besar, ternyata kita mengerjakan masalah yang salah. Masalah tetap ada. MESKIPUN Biaya habis, waktu terbuang, dan pikiran terkuras.
Program Merubah Paradigma

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, belum ada kebenaran tentang akar permasalahan sampah di Indonesia. Tetapi sepanjang pengalaman saya menggeluti tentang persampahan ini, salah satunya adalah paradigma masyarakat yang salah tentang sampah. Sampah adalah barang/sesuatu yang sudah tidak ada gunanya sama sekali. Sampah adalah bau. Sampah adalah sumber bersarangnya berbagai macam penyakit. Dan stigma-stigma negatif lainnya.

Mereka tahu kalau membuang sampah sembarangan itu tidak baik, tetapi mereka tetap saja membuang sampah sembarangan.
Mereka tahu kalau membuang sampah di sungai bisa menyebabkan aliran sungai mampet dan bisa menyebabkan banjir, tetapi mereka tetap saja membuang sampah ke sungai/saluran air.
Mereka tahu kalau sampah organik bisa jadi kompos, tetapi mereka engan membuat kompos.
Mereka tahu kalau sampah sebaiknya dipisah, tetapi mereka malas memilah-milah sampah.
Dan seterusnya..dan seterusnya…….

Pemerintah sudah banyak mengeluarkan banyak dana untuk berbagai macam program tentang pengelolaan sampah ini. Membangun TPA, membuat tempat-tempat sampah, mendatangkan teknologi hi-tech dari luar, dan banyak program yang lainnya. Program-program tersebut banyak terfokus pada program-program fisik saja. Sisi non-fisiknya belum banyak disentuh, atau pun kalau ada cuma pelengkap saja.

Padahal masalah ‘non-fisik’ ini tidak kalah penting dibandingkan dengan program-program fisik. Justru ini yang lebih sulit, membutuhkan waktu lama, kontinuitas, dan dana yang tidak sedikit. Merubah sebuah kebiasaan, budaya, dan paradigma bukan masalah sederhana. Tidak cukup hanya satu atau dua tahun saja.

Oleh karena itu, saya berharap program-program yang berkaitan dengan merubah paradigma dan budaya masyarakat menjadi program yang tidak terpisahkan dari program-program persampahan yang digulirkan pemerintah. Porsinya juga harus sebanding dengan program-program fisik.

Banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan memasukkan dalam kurikulum pendidikan, baik mulai dari tingkat TK – sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan merupakan salah satu metode yang sudah teruji untuk merubah budaya secara sistematis. Institusi pendidikan seharusnya menjadi contoh dalam penerapan pengelolaan sampah yang baik.

Berikutnya adalah himbauan-himbauan melalui media massa, baik elektronik (TV, radio), maupun media cetak (koran, majalah, buletin, dan lain-lain). Himbauan ini bisa dalam bentuk iklan layanan masyarakat. Atau bisa juga diselipkan di iklan-iklan komersial. Tidak harus jelas, pesan bisa disampaikan secara tersirat. Pihak media (wartawan) bisa menampilkan berita-berita tentang akibat buruk membuang sampah sembarangan. Di sisi lain, ditampilkan juga berita-berita tentang orang-orang yang sudah berhasil mengelola sampah. Kalau di media cetak bisa dituliskan tentang teknologi pengelolaan sampah, pemanfaatan sampah, dan hal lain yang berkaitan dengan itu.

Pemerintah atau institusi terkait lainnya bisa mencetak poster-poster, buletin, atau selebaran-selebaran tentang sampah. Bahan-bahan ini disebarkan di tempat-tempat umum, masjid-masjid, di dalam bis kota, kereta, atau tempat-tempat strategis lainnya. Program ini juga dilaksanakan secara berkala dan kontinyu. Setiap tahapan harus dievaluasi agar keberhasilan program juga bisa diukur. Perusahaan-perusahaan besar bisa menyalurkan sebagian dana CSR-nya untuk program-program ini. Tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga yang non-fisik ini.

Program lain adalah pemberian penghargaan. Penghargaan seperti Piala Adipura atau Kalpataru perlu lebih digalakkan kembali. Selain itu kota-kota yang mendapatkan hadiah Adipura juga mendapatkan dana tambahan untuk program-program pengelolaan sampah dan lingkungan. Jumlahnya harus cukup besar agar lebih menarik minat pemerintah daerah. Orang-orang yang sudah berhasil dalam mengelola sampah juga perlu mendapatkan perhatian dan penghargaan yang besar.

Seiring dengan program-program di atas, penegakkan hukum juga harus dilaksanakan dengan tegas. Perda-perda yang sudah ada dilaksanakan secara konsisten. Seiring dengan meningkatnya pemahanam masyarakat tentang sampah, hukuman atau denda juga diterapkan dengan tegas.

Memang terdengar seperti UTOPIA, kondisi ideal yang hanya ada di negeri dongeng. Jangan terlalu skeptis. Upaya tetap harus dilakukan. Dimulai yang paling mungkin dan paling mudah dilakukan. Dimulai dari diri kita sendiri. Di mulai dari keluarga kita sendiri. Di mulai dari wilayah-wilayah yang beradar di bawah kendali kita. Bukan mustahil, negeri impian ini akan terwujud di tanah air ini. Wallahu’alam.

REVOLUSI

RevoluciĆ³n debe ser planteada por la sangre y desgarro. Kata-kata ini lebih kurang berarti: revolusi selalu dimunculkan oleh darah dan keringat. Darah dan keringat menjadi bahan baku untuk menciptakan dan mempertahankan mesin revolusi. Dalam bahasa yang tertempel di dinding-dinding kota Surabaya dan Jakarta pada era revolusi fisik dulu tertulis : Revolution or death! Revolusi atau mati.
Siapa bilang revolusi dimunculkan oleh darah dan air mata, plus keringat dan bau kotor badan yang sudah lama nggak dicuci? Revolusi dimunculkan oleh kecerdasan dan sedikit keculasan. Revolusi ala Che Guevarra sudah mati. Hutan-hutan Amazon yang lebat dan sulit ditembusi telah dikalahkan oleh mesin-mesin kapitalis yang menjulang tinggi dengan semangat hedonistis dan hasil yang lebih cepat dibandingkan pekerjaan dan imajinasi para revolusioner dulu. Mesin-mesin eksploitasi hutan dan gunung sudah meracuni air, udara, dan ikan sehingga mengganggu nalar masyarakat lokal untuk berfikir tentang perubahan.
Itu bukan revolusi Bung. Itu proses instan dengan energi sekecil-kecilnya tapi mengharapkan hasil sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya. That's not make a revolution, that's make a love.
Revolusi adalah kombinasi kecerdasan, main curang, dan kebandelan.
Revolusi digerakkan oleh masyarakat yang sudah gerah dengan ketimpangan hidup dan menginginkan angin perubahan. Ia tak hanya ingin mengubah dengan berfikir, tapi juga bersuara dan bertindak. Tapi kemiskinan yang diciptakan oleh kapitalisme model baru sekarang, ambillah contoh kemiskinan akibat rekonstruksi ala-kapitalisme semu di Aceh, tidak akan melahirkan revolusi. Kapitalisme model baru sudah membenamkan si miskin dan si lemah semiskin-miskinnya dan selemah-lemahnya. Kapitalisme mutakhir telah belajar banyak dari sosialisme untuk membenamkannya di dasar ring tarung, demikian kata-kata yang pernah dituliskan Arief Budiman hampir dua puluh tahun lalu.
Partai mana yang menolak globalisasi di Aceh? Komunitas mana yang setia berada di samping si miskin dan korban, kecuali untuk seremoni unjuk rasa sebulan sekali dan kemudian berhenti? Siapa berani menohok BRR (ini misal lho, jangan terlalu serius dan tersinggung, karena banyak contoh lain kalau mau dideretkan di sini: Bank Dunia, Asia Development Bank, USAID) kalau tidak ditohok ulang dengan uang dan iming-iming jabatan? Revolusi sudah lama mati dan obituarinya masih tergantung di dinding rumah yang sudah lama ditinggalkan. Cahaya sore menyebabkan rumah itu menjadi dingin seumpama hantu: Hantu revolusi.
Revolusi? Kedengarannya kata-kata ini serenyah KFC dan segurih Pizza Hut. Itulah sebabnya cita rasanya telah berganti. Kata-kata ini dipakai oleh anak muda kelas menengah yang tidak pernah tidur di emper toko, bermain play station, dengan celana jeans yang sengaja dirobek, dan berteriak di dalam kelas atau dari atas gedung kuliahnya dengan tangan kiri : revolusi, revolusi, revolusi! Setelah itu menghilang bersama kekasih yang manis jelita menikmati kota hingga magrib tiba dengan Innova-nya.
Revolusi dulunya adalah kombinasi ketekunan teoritikal (sosial-humaniora), kesederhanaan, dan kekuatan kepribadian. Revolusi sekarang adalah kombinasi daun ganja, kartu kredit, dan seorang Don Corleone yang menjadi pemodal untuk mengongkosi gerakan politiknya. Revolusi tidak digerakkan oleh partai-partai mapan dan status quo. Revolusi digerakkan oleh partai amatiran tapi dengan semangat laksana seorang Daud mengalahkan Goliath, semangat seorang Saddam Hussein melawan Amerika, semangat seorang Budiman melawan Soeharto, dan semangat-semangat yang seumpama dengan itu.
Kelihatannya yang disebut revolusi hari ini, baik oleh aktivis sosial atau pun aktivis politik adalah involusi: politik jalan di tempat, tidak maju-maju, dan berputar-putar di lingkaran. Atau devolusi: pemindahan kekuasaan sekaligus harga benda seperti aset dan modal ke kantong pribadi, bukan ke kantong rakyat.
Revolusi adalah idealisme yang menjadikan kepentingan bersama sebagai tujuan sedangkan kepentingan pribadi disempitkan. Itu sebabnya, Hugo Chavez, presiden Venezuela, mengatakan revolusi itu tidak mesti ditelevisikan. Televisi hanya menyebabkan orang terbuai untuk menjadikan diri sendiri pahlawan (hero) dan orang lain asupan (zero). Itu bukan revolusi Bung! Itu American Idol!
Revolusi sangat dekat dengan altruisme, sikap menderma dan rela berkorban untuk orang lain. Revolusi seperti Nabi Muhammad, menjadikan dirinya orang pertama yang berbuat, tetapi orang terakhir yang mengecap. Revolusi itu seperti Ahmadinejad, yang siap melawan kekuatan konspiratif global dan menantang siapa saja dan di mana saja. Ahmadinejad adalah contoh revolusioner masa kini, yang bersedia mengurangi gaji seorang presiden dan menteri-menterinya hingga separuhnya untuk dana sosial dan pengentasan kemiskinan. Pendopo presiden tidak memiliki perabotan yang lux dan mahal. Semuanya tamu harus duduk bersila di atas karpet Persia yang memang artistik, unik, dan bersahaja.
Ketika ada yang menyebutkan revolusi sekarang ini, perut saya betul-betul mulas dan harus ke belakang.